Aceh dalam tata ruang atau tata uang



DIBAWAH KETIAK ATASAN (dimuat pada Serambi Indonesia, edisi cetak)


Menyikapi masalah tata ruang seperti judul opini “Tata ( R ) Uang” oleh Mukhtaruddin Yakob, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Banda Aceh. Dimuat pada kolom Opini Serambi Indonesia (22/7/2010). Meminjam kata katanya “Kita boleh saja membantah, tapi koordinasi sangat sangat penting jika ingin tak melabrak tata ruang yang telah kita susun sendiri. Sehingga tidak terkesan sebagai proyek ujicoba dan buet-buet sot atau mengerjakan yang itu-itu saja.”

Jika dilihat antara perencanaan dan penerapan dilapangannya. Sangat menyiksa batin dan peluang usaha masyarakat kecil. Contohnya seperti dipaparkan bang Muktaruddin Yakob (Lagi-lagi saya meng-copy paste Tulisannya) “Permasalahan tata ruang paling sering muncul di kalangan pemerintah kota. Rencana induk tata ruang ternyata memberi ruang bagi oknum untuk melakukan berbagai penyimpangan yang bermuara pada kutipan.

Masalah penerbitan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) sering bertabrakan di lapangan. Saat pemerintah ingin melakukan penertiban sebuah bangunan, ternyata sang pemilik mengantongi izin resmi. Izin itu dikeluarkan instansi yang sama. Program perizinan satu pintu menjadi celah bagi pemohon izin. Jika mereka tak mendapatkan izin melalui pintu resmi, maka pintu belakang pun menjadi pilihan. Wajar, jika masyarakat kecewa dan marah karena mereka merasa tertipu.

Selain itu, pengawasan tata ruang khususnya IMB sangat longgar. Aparat Satpol PP sering bergerak sebagai eksekutor sehingga tak melahirkan solusi. Warga yang telah kehilangan uang untuk mendirikan bangunan tentu saja tak bisa terima jika hartanya dihancurkan. Sebaliknya, pemerintah memiliki dasar bahwa mereka menjalankan tugas atas dasar peraturan yaitu qanun tata ruang. Seharusnya, aparat Satpol PP yang menegakkan perda atau qanun melarang sebelum bangunan itu berdiri. Bukan sebaliknya, hanya bisa mengeksekusi yang justru menimbulkan perlawanan di lapangan”. (Maaf bang Muktar, Tanpa seizing anda saya mengutipnya dengan tujuan untuk belajar (menulis). Tentunya juga sebagai penyambungan dalam kampanye dan kritikan public terhadap para pembesar).

Tidak hanya di dipusat Ibukota Jakarta saja terjadi penggusuran, di Aceh juga sudah sangat sering terjadi. Patut kita pertanyakan. Apakah penertiban bangunan berdasarkan izin mendirikan bangunan (IMB) untuk keindahan tata ruang kota bisa memberikan kesejahteraan bagi warganya? Atau hanya sebagai ajang pamer saja untuk upaya peroleh Adipura? 

Satu lagi perlu juga dipertanyakan, pemerintah sendiri menggaungkan upaya-upaya pelestarian budaya (Mungkin termasuk juga saksi sejarah) contohnya saja pepohonan di sepanjang jalan Iskandar Muda, arah menuju Ulee Lheue, seputaran Blang Padang. Tepatnya didepan gedung Meseum Tunami yang megah tetapi seperti kurang tertata pekarangannya (lihat saja rumput-rumput menguning dipekarangannya semak, seperti kurang terurus. Disekitar jalan depan gedung tersebut dulunya masih menjulang kokoh pohon Asam jawa yang usianya sangat cocok disebut saksi sejarah. Karena wakktu musibah gempa dan tsunami melanda Aceh penghujung 2004. tidak sedikit orang yang selamat memanjat dan berpegang erat diatasnya sambil mengucap asma Allah. Mereka juga jadi saksi keganasan bencana melihat puing puing dan porak poranda terjangan air laut tersebut (Walaupun banyakan dari yang selamat tidak mampu lagi bercerita, mungkin karena trauma mengingatnya). Sekarang poho Asam jawa (Bak Mee) tersebut telah berganti dengan gedung megah hasil sayembara 2007 (Kalau tidak salah).

Coba kita kaitkan dengan tema daerah yang mendunia diusung oleh Irwandi (Gubernur Aceh) bunyinya “Aceh Green !” hijau itu apakah penghijauan? Bukankah sebaliknya, hijau itu terlihat dari rimbunnya pepohonan yang tersusun rapat besar, kokoh menancap tanah! 

Kembail kepetugas tata kota (Baca SATPOL PP), haruskah selalu mengikuti perintah atasan? Selalu itu alasannya. Rakyat kecil juga kena imbasnya. Wallahu’alam!

Comments

Popular Posts